Senin, 09 Januari 2017

Ini Jakarta

Ini Jakarta. Pilihannya, datang terlambat atau berangkat pagi buta. Setengah enam pagi harus sudah dapat bis, kalau tidak, pasti terlambat. Jawaban itu selalu berhasil memuaskan pertanyaan jam berapa berangkat dari rumah. Namun, setelah mengangguk-anggukan kepala, pertanyaan berlanjut. Kalau pulangnya bagaimana? Naik gojek sampai Slipi, setelah itu naik bis yang arah ke Islamic. Nah, sudah ketahuan kan darimana saya berangkat dan pulang kerja. Apa? Belum?. Ini Jakarta.


Saya baru dua tahun tinggal di Tangerang. Saya bekerja di kantor pusat salah satu perusahaan negara di bilangan jalan jenderal sudirman. Konon, sering disebut daerah segitiga emas, saya tidak pernah bertanya kenapa? Tidak perduli. Perjalanan ke kantor, kurang lebih satu jam. Dengan catatan, setengah enam pagi harus sudah dapat bis. Perjalanan pulang bisa jadi dua jam, biasanya bisa lebih cepat pada saat pasca liburan panjang dan jadwal sekolah belum dimulai.

Urutannya begini, bangun paling telat jam lima pagi. Mandi dan sholat subuh, kalau lagi sholeh bangunnya jam empat, sholat subuh berjamaah di mesjid. Mesjid ini sekarang sudah punya menara yang tinggi, di cat putih dan biru langit, cantik. Setiap hari minggu, bapak-bapak pengurus mesjid keliling ke setiap gang, memutar lagu kasidahan, menawarkan peluang untuk bersedekah. Mama mendisiplinkan diri untuk selalumengambil peluang itu. Sedekah diyakini merupakan salah satu dari tiga amalan yang akan dibawa mati, yaitu amal baik dan doa anak sholeh. Bertahun-tahun seperti itu, bahkan sampai menara sudah berdiri cantik menjulang seperti sekarang. Beberapa bapak-bapak yang kutahu, sudah tiada. Pulang ke sana.

Sementara aku mandi dan sholat subuh, istriku akan menghilang dari kamar. Membungkus makanan untuk bekal makan siang. Kalau di kantor ada acara makan-makan, sehari sebelumnya aku minta istri untuk tidak menyiapkan bekal makan siang. Bekal makan siang dimasukkan ke kotak plastik kecil. Jika bekal sudah siap, istriku membawa secangkir susu coklat panas dan roti tawar isi butiran coklat beralas keju, untuk sarapanku. Kemudian, istriku memastikan kelengkapanku. Memastikan baju yang dikenakan sesuai dengan jadwal kantor, Kartu Tanda Pengenal Pegawai, handphone beserta chargerannya, power bank dan uang receh untuk ongkos. Ah jangan lupa pake parfum.

Setelah dirasa lengkap, pamitan ke orang tua. Mama selalu mengingatkan, benar-benar selalu, jangan sampai ada yang tertinggal. Sejak tabungan kami menipis, kami memutuskan untuk hidup lebih hemat. Istriku tidak lagi mengantarku ke tempat pemberhentian bis menggunakan mobil, tetapi menggunakan montor. Iya montor, bapak mertuaku orang ponorogo, jadi terkadang menyebut motor dengan kata montor. Bapak sampai sekarang meyakini montor Honda adalah montor terbaik, karena harga jual kembalinya tetap tinggi dibandingkan dengan montor Yamaha, apalagi suzuki. Hal ini diwariskan ke anaknya, istriku. Sesaat kami menikah dulu, kami membeli montor honda jenis supra. Sekarang montor itu udah berusia enam tahun, perlu kesabaran untuk menghidupkannya, rem sudah tidak pakem, dan mesin sudah berbunyi tidak nyaman. Bapak berniat menjualnya, kami mengiyakan, tapi belum terjual juga.

Aku yang didepan, tidak berhelm. Tas gemblok kusimpan didepan dada, lumayan menahan angin dingin. Istriku di belakang, berhelm. Sepanjang perjalanan biasanya sambil bercerita, tentang apa saja. Tentang cita-cita istri untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri, cita-cita untuk memulai usaha, tentang keinginan untuk pindah dari rumah mertua atau kadan bahkan bercerita tentan sepupu yang tidak menjadi menikah karena si calon menghilang entah kemana. Dari rumah ke tempat pemberhentian bis, kurang lebih perlu waktu sepuluh menit. Ada tiga pilihan bis, pertama bis mayasari 34 bertarif delapan ribu rupiah. Kedua, bis 119 bertarif tujuh ribu lima ratus rupiah. Kemudian yang ketiga, busway bertarif tiga ribu lima ratus rupiah.

Bus Mayasari Bakti AC 34 jurusan Blok M – Poris (Cimone). Trayeknya adalah Blok M – Senayan – Jalan Jenderal Sudirman – Gelora Bung Karno (GBK) – Semanggi – Slipi – Jalan Letjen S. Parman – Petamburan – Kemanggisan – Tomang – Jalan Tol Jakarta Tangerang / Merak – Kebon Jeruk – Lippo Karawaci – Islamic Village – Cimone. Dari arah Poris, bus akan masuk ke rest area km 13,5 beberapa penumpang akan naik di sini, termasuk pengamen. Pengamennya berganti-ganti. Salah satu pengamen adalah perempuan usia tiga puluhan, memakai tas samping yang ternyata isinya adalah sepaker. Biasanya dia menyanyikan lagu-lagu lama delapan puluhan seperti “antar anyer dan jakarta”nya Sheila Majid, lagu-lagu Chrisye kadang juga lagu-lagu yang tak ku kenal tapi dari nada-nada dan liriknya yang cengeng kuperkirakan dari delapan puluhan. Pengamen lain berduet, bapak-bapak usia kepala lima yang memainkan gitar bolong dan perempuan muda mungkin usia dua puluhan awal sebagai penyanyinya. Duet ini memainkan lagu-lagu yang kadang kekinian dan kebarat-baratan. Suara nona biduanitanya renyah, kuat dan terang. Demi apalah, kadang kalau pengamen sedang bernyanyi, saya matikan headset. Kalau enak didengar, kusiapkan uang lembar dua ribuan. Kembali ke bus, kondekturnya ada dua. Kondektur pertama, bertugas untuk menarik bayaran. Kalau pagi-pagi, sering mengingatkan penumpang agar menyiapkan uang kecil. Kondektur kedua, duduk di sepanjang perjalanan, tugasnya memberi aba-aba kepada sopir. Dia akan mengucapkan mantra-mantra :” kiri jauh”, “tahan” atau tempat pemberhentian, “kebon jeruk”, “Harkit”, “Slipi bawah”, “MPR” dan “semanggi”  sebagai tempat terakhirku. Laju bis biasanya kencang, salip kiri kanan dan klakson yang nyaring tanpa telolet.

Bus alternatif kedua, bus AJA P119 Kampung Melayu Cimone. Rute sampai Semanggi sama dengan bus Mayasari Bakti AC 34. Dibandingkan dengan Bus Mayasari Bakti AC 34, umur bisnya rata-rata lebih tua. Tempat duduk dua-tiga dengan gang yang sempit. Tempat duduk yang sempit menyebabkan beberapa penumpang berskill rendah seperti aku, susah untuk tidur. Baik posisi pinggir dekat gang, di tengah maupun dekat kaca. Selain sempit untuk tempat duduk, juga sempit bagi kaki. Kasihan bagi para penumpang yang berkaki panjang, duduknya pasti gelisah. Kondekturnya satu, tugasnya menarik bayaran dan merapihkan para penumpang yang berdiri di gang, dibuatnya berhadap hadapan sehingga daya tampungnya menjadi lebih banyak. Kadang aku heran, kondektur yang berbadan tambun ini lincah selap selip, menarik bayaran, memeberi kembalian, mengatur barisan dari depan sampai ke belakan di gang yang sempit, luar biasa, jam terbang mungkin menyebabkan dia bisa bergerak lincah seperti itu. Kalau pagi, arah Tangerang menuju Jakarta, jarang ada pengamen yang masuk apalagi kalau sedang penuh. Ketidaknyamanan ini mungkin sebagai salah satu alasan kenapa ongkosnya lebih rendah lima ratus rupiah dibanding bus Mayasari Bakti AC 34.

Bus yang ketiga dan paling murah, Busway jurusan Poris Plawad - Bundaran Senayan. ACnya dingin dan terasa. Musik kekinian yang diputar keras-keras. Gangnya luas, diantara kursi yang saling berhadap-hadapan. Pintu masu-keluar bis ada tiga. Satu di samping kiri depan, sejajar dengan kursi sopir. Duanya lagi ditengah-tengah mengahadap ke kiri dan ke kanan. Badan bis dibagi dua, dari pintu ke tengah  ke depan khusus untuk perempuan. Tengah ke belakang laki-laki, tapi kadang ada lelaki yang berbaik hati mempersilahkan duduk bagi perempuan. Banyak juga laki-laki yang pura-pura tidur, agar singgasananya tidak perlu diberikan ke penumpang lain seperti perempuan tua, hamil atau difabel. Ini Jakarta. Kondekturnya satu, berseragam dan bertopi. Untuk pembayaran, kondektur membawa mesin edc (Electronic Data Capture) miliknya bank BCA. Jadi, pembayarannya bisa tunai maupun non tunai. Bagi penumpang yang memiliki uang elektroniknya BCA, cukup ditempelkan ke mesin edc dibantu oleh kondektur, otomatis jumlah uangnya akan berkurang sebesar tiga ribu lima ratus rupiah. Bukti pembayaran akan diberikan oleh kondektur. Bagi penumpang yang tidak memiliki uang elektronik, pembayaran seperti biasa kemudian kondektur akan menempelkan uang elektronik miliknya sendiri dan bukti pembayaran diberikan ke penumpang. Keunggulannya dibanding dengan bus satu dan dua tadi, ketika masuk ke Jakarta, dia akan masuk ke jalur busway. Selama bapak-ibu polis dan petugas dishub, disiplin menghalau kendara-kendaraan non busway masuk ke jalur busway, maka busway ini akan lebih cepat dibandingkan dengan bis yang lain, meskipun busway ini berhenti di beberapa halte. Bagiku, kekurangannya adalah aku harus ganti busway di halte senayan, ke busway yang menuju kota untuk turun di halte Benhil. Untuk keluar dari busway, aku harus menempelkan uang elektronik di halte benhil, jangan khawati, hal ini tidak mengurangi saldo.

Entah sampai kapan bus Mayasari Bakti 34 dan bus AJA P119 akan mampu bersaing dengan buswaynya TransJakarta. Saya rasa, ketika busway jurusan Poris Plawad- Bunderan Senayan ini menambah armada, penumpang-penumpang dengan tujuan yang kurang lebih sama denganku akan berpindah ke busway. Dulu ada alternatif lain sebelum kehadiran Busway, namana bus Mayasari patas AC PA62 Jurusan Senen- Tangerang. Entah kebetulan atau tidak, sejak ada busway bus ini tiada. Ini Jakarta!.

Kalau setengah enam sudah dapat bis, selama tidak ada kejadian-kejadian aneh. Aku akan tiba di kantor jam setengah tujuh pagi. Setibanya di kantor, tidak langsung masuk gedung tapi melipir ke warung rokok di belakang kantor di depan kantin bewe. Ritualku, dimulai dengan mengabari ke istri bahwa aku telah tiba di kantor dengan selamat. Kemudian, memesan segelas kopi guddey dan dua batang rokok putih, enam ribu rupiah. Warung rokok ini memiliki pelanggan tetap, setiap pagi di waktu yang sama. Pelanggannya sama. Pesanannya pun nyaris sama, segelas kopi dan beberapa batang rokok. Meskipun aku tidak mengenal namanya masing-masing, obrolan akan mengalir lancar dan ramai. Temanyanya macam-macam, tergantung berita kemarin. Membahas kasus Ahok, BBM naik, belanja di Alibaba, pertandingan sepakbola dan kadang-kadang temanya seputar pejabat-pejabat di kantor. Acara diskusi pagi di warung kopi ini akan berakhir sekitar jam tujuh lima belas, waktunya bekerja.

Lelah? Iya. Tapi, “siapa suruh datang ke Jakarta?!”.



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar