Ini Jakarta. Pilihannya, datang
terlambat atau berangkat pagi buta. Setengah enam pagi harus sudah dapat bis,
kalau tidak, pasti terlambat. Jawaban itu selalu berhasil memuaskan pertanyaan
jam berapa berangkat dari rumah. Namun, setelah mengangguk-anggukan kepala,
pertanyaan berlanjut. Kalau pulangnya bagaimana? Naik gojek sampai Slipi,
setelah itu naik bis yang arah ke Islamic. Nah, sudah ketahuan kan darimana
saya berangkat dan pulang kerja. Apa? Belum?. Ini Jakarta.
Saya baru dua tahun tinggal di
Tangerang. Saya bekerja di kantor pusat salah satu perusahaan negara di
bilangan jalan jenderal sudirman. Konon, sering disebut daerah segitiga emas,
saya tidak pernah bertanya kenapa? Tidak perduli. Perjalanan ke kantor, kurang
lebih satu jam. Dengan catatan, setengah enam pagi harus sudah dapat bis.
Perjalanan pulang bisa jadi dua jam, biasanya bisa lebih cepat pada saat pasca
liburan panjang dan jadwal sekolah belum dimulai.
Urutannya begini, bangun paling
telat jam lima pagi. Mandi dan sholat subuh, kalau lagi sholeh bangunnya jam
empat, sholat subuh berjamaah di mesjid. Mesjid ini sekarang sudah punya menara
yang tinggi, di cat putih dan biru langit, cantik. Setiap hari minggu,
bapak-bapak pengurus mesjid keliling ke setiap gang, memutar lagu kasidahan,
menawarkan peluang untuk bersedekah. Mama mendisiplinkan diri untuk
selalumengambil peluang itu. Sedekah diyakini merupakan salah satu dari tiga
amalan yang akan dibawa mati, yaitu amal baik dan doa anak sholeh. Bertahun-tahun
seperti itu, bahkan sampai menara sudah berdiri cantik menjulang seperti
sekarang. Beberapa bapak-bapak yang kutahu, sudah tiada. Pulang ke sana.
Sementara aku mandi dan sholat
subuh, istriku akan menghilang dari kamar. Membungkus makanan untuk bekal makan
siang. Kalau di kantor ada acara makan-makan, sehari sebelumnya aku minta istri
untuk tidak menyiapkan bekal makan siang. Bekal makan siang dimasukkan ke kotak
plastik kecil. Jika bekal sudah siap, istriku membawa secangkir susu coklat
panas dan roti tawar isi butiran coklat beralas keju, untuk sarapanku. Kemudian,
istriku memastikan kelengkapanku. Memastikan baju yang dikenakan sesuai dengan
jadwal kantor, Kartu Tanda Pengenal Pegawai, handphone beserta chargerannya,
power bank dan uang receh untuk ongkos. Ah jangan lupa pake parfum.
Setelah dirasa lengkap, pamitan
ke orang tua. Mama selalu mengingatkan, benar-benar selalu, jangan sampai ada
yang tertinggal. Sejak tabungan kami menipis, kami memutuskan untuk hidup lebih
hemat. Istriku tidak lagi mengantarku ke tempat pemberhentian bis menggunakan
mobil, tetapi menggunakan montor. Iya montor, bapak mertuaku orang ponorogo,
jadi terkadang menyebut motor dengan kata montor. Bapak sampai sekarang
meyakini montor Honda adalah montor terbaik, karena harga jual kembalinya tetap
tinggi dibandingkan dengan montor Yamaha, apalagi suzuki. Hal ini diwariskan ke
anaknya, istriku. Sesaat kami menikah dulu, kami membeli montor honda jenis
supra. Sekarang montor itu udah berusia enam tahun, perlu kesabaran untuk
menghidupkannya, rem sudah tidak pakem, dan mesin sudah berbunyi tidak nyaman.
Bapak berniat menjualnya, kami mengiyakan, tapi belum terjual juga.
Aku yang didepan, tidak berhelm. Tas
gemblok kusimpan didepan dada, lumayan menahan angin dingin. Istriku di
belakang, berhelm. Sepanjang perjalanan biasanya sambil bercerita, tentang apa
saja. Tentang cita-cita istri untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri,
cita-cita untuk memulai usaha, tentang keinginan untuk pindah dari rumah mertua
atau kadan bahkan bercerita tentan sepupu yang tidak menjadi menikah karena si
calon menghilang entah kemana. Dari rumah ke tempat pemberhentian bis, kurang
lebih perlu waktu sepuluh menit. Ada tiga pilihan bis, pertama bis mayasari 34
bertarif delapan ribu rupiah. Kedua, bis 119 bertarif tujuh ribu lima ratus
rupiah. Kemudian yang ketiga, busway bertarif tiga ribu lima ratus rupiah.
Bus Mayasari Bakti AC 34 jurusan Blok M – Poris (Cimone).
Trayeknya adalah Blok M – Senayan – Jalan Jenderal
Sudirman – Gelora Bung Karno (GBK) – Semanggi – Slipi – Jalan Letjen S. Parman
– Petamburan – Kemanggisan – Tomang – Jalan Tol Jakarta Tangerang / Merak –
Kebon Jeruk – Lippo Karawaci – Islamic Village – Cimone. Dari arah
Poris, bus akan masuk ke rest area km 13,5 beberapa penumpang akan naik di
sini, termasuk pengamen. Pengamennya berganti-ganti. Salah satu pengamen adalah
perempuan usia tiga puluhan, memakai tas samping yang ternyata isinya adalah
sepaker. Biasanya dia menyanyikan lagu-lagu lama delapan puluhan seperti “antar
anyer dan jakarta”nya Sheila Majid, lagu-lagu Chrisye kadang juga lagu-lagu
yang tak ku kenal tapi dari nada-nada dan liriknya yang cengeng kuperkirakan
dari delapan puluhan. Pengamen lain berduet, bapak-bapak usia kepala lima yang
memainkan gitar bolong dan perempuan muda mungkin usia dua puluhan awal sebagai
penyanyinya. Duet ini memainkan lagu-lagu yang kadang kekinian dan
kebarat-baratan. Suara nona biduanitanya renyah, kuat dan terang. Demi apalah,
kadang kalau pengamen sedang bernyanyi, saya matikan headset. Kalau enak
didengar, kusiapkan uang lembar dua ribuan. Kembali ke bus, kondekturnya ada
dua. Kondektur pertama, bertugas untuk menarik bayaran. Kalau pagi-pagi, sering
mengingatkan penumpang agar menyiapkan uang kecil. Kondektur kedua, duduk di
sepanjang perjalanan, tugasnya memberi aba-aba kepada sopir. Dia akan
mengucapkan mantra-mantra :” kiri jauh”, “tahan” atau tempat pemberhentian, “kebon
jeruk”, “Harkit”, “Slipi bawah”, “MPR” dan “semanggi” sebagai tempat terakhirku. Laju bis biasanya
kencang, salip kiri kanan dan klakson yang nyaring tanpa telolet.
Bus alternatif kedua,
bus AJA P119 Kampung Melayu Cimone. Rute sampai Semanggi sama dengan bus Mayasari
Bakti AC 34. Dibandingkan dengan Bus Mayasari Bakti AC 34, umur bisnya
rata-rata lebih tua. Tempat duduk dua-tiga dengan gang yang sempit. Tempat duduk
yang sempit menyebabkan beberapa penumpang berskill rendah seperti aku, susah
untuk tidur. Baik posisi pinggir dekat gang, di tengah maupun dekat kaca. Selain
sempit untuk tempat duduk, juga sempit bagi kaki. Kasihan bagi para penumpang
yang berkaki panjang, duduknya pasti gelisah. Kondekturnya satu, tugasnya
menarik bayaran dan merapihkan para penumpang yang berdiri di gang, dibuatnya
berhadap hadapan sehingga daya tampungnya menjadi lebih banyak. Kadang aku
heran, kondektur yang berbadan tambun ini lincah selap selip, menarik bayaran,
memeberi kembalian, mengatur barisan dari depan sampai ke belakan di gang yang
sempit, luar biasa, jam terbang mungkin menyebabkan dia bisa bergerak lincah
seperti itu. Kalau pagi, arah Tangerang menuju Jakarta, jarang ada pengamen
yang masuk apalagi kalau sedang penuh. Ketidaknyamanan ini mungkin sebagai
salah satu alasan kenapa ongkosnya lebih rendah lima ratus rupiah dibanding bus
Mayasari Bakti AC 34.
Bus yang ketiga dan
paling murah, Busway jurusan Poris Plawad - Bundaran Senayan. ACnya dingin dan
terasa. Musik kekinian yang diputar keras-keras. Gangnya luas, diantara kursi yang
saling berhadap-hadapan. Pintu masu-keluar bis ada tiga. Satu di samping kiri
depan, sejajar dengan kursi sopir. Duanya lagi ditengah-tengah mengahadap ke
kiri dan ke kanan. Badan bis dibagi dua, dari pintu ke tengah ke depan khusus untuk perempuan. Tengah ke
belakang laki-laki, tapi kadang ada lelaki yang berbaik hati mempersilahkan
duduk bagi perempuan. Banyak juga laki-laki yang pura-pura tidur, agar
singgasananya tidak perlu diberikan ke penumpang lain seperti perempuan tua,
hamil atau difabel. Ini Jakarta. Kondekturnya satu, berseragam dan bertopi. Untuk
pembayaran, kondektur membawa mesin edc (Electronic Data Capture) miliknya bank
BCA. Jadi, pembayarannya bisa tunai maupun non tunai. Bagi penumpang yang
memiliki uang elektroniknya BCA, cukup ditempelkan ke mesin edc dibantu oleh
kondektur, otomatis jumlah uangnya akan berkurang sebesar tiga ribu lima ratus
rupiah. Bukti pembayaran akan diberikan oleh kondektur. Bagi penumpang yang
tidak memiliki uang elektronik, pembayaran seperti biasa kemudian kondektur
akan menempelkan uang elektronik miliknya sendiri dan bukti pembayaran
diberikan ke penumpang. Keunggulannya dibanding dengan bus satu dan dua tadi,
ketika masuk ke Jakarta, dia akan masuk ke jalur busway. Selama bapak-ibu polis
dan petugas dishub, disiplin menghalau kendara-kendaraan non busway masuk ke
jalur busway, maka busway ini akan lebih cepat dibandingkan dengan bis yang
lain, meskipun busway ini berhenti di beberapa halte. Bagiku, kekurangannya
adalah aku harus ganti busway di halte senayan, ke busway yang menuju kota
untuk turun di halte Benhil. Untuk keluar dari busway, aku harus menempelkan
uang elektronik di halte benhil, jangan khawati, hal ini tidak mengurangi
saldo.
Entah sampai kapan bus
Mayasari Bakti 34 dan bus AJA P119 akan mampu bersaing dengan buswaynya
TransJakarta. Saya rasa, ketika busway jurusan Poris Plawad- Bunderan Senayan
ini menambah armada, penumpang-penumpang dengan tujuan yang kurang lebih sama
denganku akan berpindah ke busway. Dulu ada alternatif lain sebelum kehadiran
Busway, namana bus Mayasari patas AC PA62 Jurusan Senen- Tangerang. Entah kebetulan
atau tidak, sejak ada busway bus ini tiada. Ini Jakarta!.
Kalau setengah enam
sudah dapat bis, selama tidak ada kejadian-kejadian aneh. Aku akan tiba di
kantor jam setengah tujuh pagi. Setibanya di kantor, tidak langsung masuk
gedung tapi melipir ke warung rokok di belakang kantor di depan kantin bewe. Ritualku,
dimulai dengan mengabari ke istri bahwa aku telah tiba di kantor dengan
selamat. Kemudian, memesan segelas kopi guddey dan dua batang rokok putih, enam
ribu rupiah. Warung rokok ini memiliki pelanggan tetap, setiap pagi di waktu
yang sama. Pelanggannya sama. Pesanannya pun nyaris sama, segelas kopi dan
beberapa batang rokok. Meskipun aku tidak mengenal namanya masing-masing,
obrolan akan mengalir lancar dan ramai. Temanyanya macam-macam, tergantung
berita kemarin. Membahas kasus Ahok, BBM naik, belanja di Alibaba, pertandingan
sepakbola dan kadang-kadang temanya seputar pejabat-pejabat di kantor. Acara
diskusi pagi di warung kopi ini akan berakhir sekitar jam tujuh lima belas,
waktunya bekerja.
Lelah? Iya. Tapi, “siapa
suruh datang ke Jakarta?!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar