Rabu, 18 Januari 2017

Pengecut

Lari saja kalau takut. Pengecut akan setimpal ditetakkan ke namamu. Diam saja, tak perlu kau ceritakan pada anak cucumu. Waktu akan menelan kepengecutanmu. Aku tak lari, aku hanya tertunduk dan merunduk. Buat apa aku berdiri ditengah desingan peluru? Datangnya peluru pun aku tak tahu. Senjataku ada dibawah mataku, maka aku menolak untuk terus menerus tengadah. Senjataku tak dibuat untuk untuk memuntahkan peluru. Senjataku dicipta untuk tahu, tahu diri. Aku pernah mencoba menangkis desingan sialan itu, nihil, seperti menabur garam di lautan.


Lautan kata, tajam cepat menyebar tiada ampun. Menghantam siapa pun, tak terkecuali tua bangka yang terus merunduk itu. Entah karena jahilnya waktu, entah apa, tapi dia memilih untuk tetap merunduk. Aku pun begitu, meniru. Kelak aku harap dengan meniru, semakin banyak yang merunduk. Tidak hanya yang tua, tapi juga yang muda. Tak lupa aku pun meniru apa yang dilakukan tua saat merunduk. Karena satu persatu, yang tengadah pelan-pelan merunduk. Kutahu ini disebabkan sesuatu yang ada dalam rundukan si tua.

Berulang, bumi mengelilingi matahari. Berputar tak pernah berhenti. Lalu kenapa kamu tidak ikut berulang, apakah kamu lupa kamu pun akan pulang? Bahkan sosok yang seumur hidup kau tiru pun, pulang. Tengadah bukan hal yang jaddah, tapi lupa untuk merunduk membuat kau lupa dimana kakimu sendiri. Persis di tempatmu sekarang ini, kau tau apa yang terjadi setahun yang lalu? Sepuluh tahun? Seratus tahun? Lima ratus tahun? Seribu tahun atau apakah tempat ini pernah tidak ada?. Lalu kamu, sejak kapan kamu ada. Ah angka kau seduhkan, sebagai jawabmu. Sebelum angka, kamu dimana? Sampai angka ke berapa kau ada dalam kedunguanmu? Atau apakah kamu lupa akan pulang?.


Tua hanyalah permainan angka. Tiup lilin untuk yang kesekian. Kita akan selalu muda, tanpa atau dengan tiup lilin. Karena kita lupa dan tiada pernah memperhatikan yang berulang, berputar dan pulang. Hengkang, suka atau tidak suka. Bumi terlalu kecil, tak kuasa menelan taikmu, sumpah serapahmu, doamu, keluh kesahmu. Kesana ke Mars, hiduplah disana. Merunduklah disana, demi keadilan, buanglah taikmu disana lalu kembali. Kembali untuk tanam pekerti disini, menyusun puji, merunduk takluk pada yang punya bumi, Mars, Matahari, galaksi dan entah apalagi diluar sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar