Lari saja kalau takut. Pengecut
akan setimpal ditetakkan ke namamu. Diam saja, tak perlu kau ceritakan pada
anak cucumu. Waktu akan menelan kepengecutanmu. Aku tak lari, aku hanya
tertunduk dan merunduk. Buat apa aku berdiri ditengah desingan peluru? Datangnya
peluru pun aku tak tahu. Senjataku ada dibawah mataku, maka aku menolak untuk terus
menerus tengadah. Senjataku tak dibuat untuk untuk memuntahkan peluru. Senjataku
dicipta untuk tahu, tahu diri. Aku pernah mencoba menangkis desingan sialan
itu, nihil, seperti menabur garam di lautan.
Lautan kata, tajam cepat menyebar
tiada ampun. Menghantam siapa pun, tak terkecuali tua bangka yang terus
merunduk itu. Entah karena jahilnya waktu, entah apa, tapi dia memilih untuk
tetap merunduk. Aku pun begitu, meniru. Kelak aku harap dengan meniru, semakin
banyak yang merunduk. Tidak hanya yang tua, tapi juga yang muda. Tak lupa aku
pun meniru apa yang dilakukan tua saat merunduk. Karena satu persatu, yang
tengadah pelan-pelan merunduk. Kutahu ini disebabkan sesuatu yang ada dalam
rundukan si tua.
Berulang, bumi mengelilingi
matahari. Berputar tak pernah berhenti. Lalu kenapa kamu tidak ikut berulang,
apakah kamu lupa kamu pun akan pulang? Bahkan sosok yang seumur hidup kau tiru
pun, pulang. Tengadah bukan hal yang jaddah, tapi lupa untuk merunduk membuat
kau lupa dimana kakimu sendiri. Persis di tempatmu sekarang ini, kau tau apa
yang terjadi setahun yang lalu? Sepuluh tahun? Seratus tahun? Lima ratus tahun?
Seribu tahun atau apakah tempat ini pernah tidak ada?. Lalu kamu, sejak kapan
kamu ada. Ah angka kau seduhkan, sebagai jawabmu. Sebelum angka, kamu dimana? Sampai
angka ke berapa kau ada dalam kedunguanmu? Atau apakah kamu lupa akan pulang?.
Tua hanyalah permainan angka. Tiup
lilin untuk yang kesekian. Kita akan selalu muda, tanpa atau dengan tiup lilin.
Karena kita lupa dan tiada pernah memperhatikan yang berulang, berputar dan
pulang. Hengkang, suka atau tidak suka. Bumi terlalu kecil, tak kuasa menelan
taikmu, sumpah serapahmu, doamu, keluh kesahmu. Kesana ke Mars, hiduplah
disana. Merunduklah disana, demi keadilan, buanglah taikmu disana lalu kembali.
Kembali untuk tanam pekerti disini, menyusun puji, merunduk takluk pada yang
punya bumi, Mars, Matahari, galaksi dan entah apalagi diluar sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar