Jumat, 20 Januari 2017

"Istirahatlah Kata-kata" sebuah cerita

Hastag #ThukulDiBioksop dan #Istirahatlahkatakata menarik perhatian saya. Teringat sebuah ulasan khusus yang dihidangkan di sebuah majalan nasional terkemuka, beberapa tahun lalu dan sudah “dibukukan”. Tentang seorang penyair yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Hilang pada masa-masa menjelang lengsernya Presiden Soeharto.

Ingatan saya lari ke masa itu, tidak banyak memang. Saya, bapak,ibu dan kakak-kakak memperhatikan siaran langsung televisi, pidato presiden Soeharto mengundurkan diri. Bapak hanya bergumam, “akhirnya turun juga”. Ibu menimpali Bapak,” Iya mendingan ganti aja, bosen”. Sebelumnya, kami juga menyaksikan adegan-adegan kerusuhan di Jakarta. Massa begitu beringas, kepulan asap, orang-orang berlarian dan di usia remaja saya saat itu, saya melihat seorang polantas berbadan gemuk ramai-ramai dipukulin massa, mukanya berlumuran darah, terduduk tak berdaya menepis tangan dan kaki yang menghantam seluruh badannya.

Kata Televisi, PRD (Partai Rakyat Demokratik) itu bentuk baru dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan mereka adalah dalang dari kerusuhan yang terjadi. Sosok kurus berkacamata dengan rambut acak-acakan dinyatakan buron, Katanya dia adalah ketua PRD. Selain PRD, kosakata baru –bagi saya- yang menambah obrolan-obrolan saat itu adalah krismon (Krisis Moneter), reformasi, mahasiswa, demonstrasi, penjarahan.

Tapi sudah, begitu saja. Saya kembali ke dunia remaja saya.

Orba katanya kejam, peristiwa 65, Priuk, Talangsari, petrus (penembak misterius). Nah petrus ini katanya semua yang bertato pasti ditembak mati, entah siapa yang menembak. Tapi ya itu, sekedar rombongan katanya. Dari semua katanya itu, yang menarik saya adalah peristiwa 65. Karena film yang wajib ditonton setahun sekali itu menimbulkan banyak pertanyaan. Aneh, terlepas dari minimnya informasi yang saya dapat. Terasa ganjil saja, pemberontakan politis dibalas dengan penghilangan hak hidup. Bahkan sampai turunan biologisnya pun ditandai, tanpa ampun. Dan setelah hancur sehancurnya pun, tetap digemakan : bahaya laten komunisme.

Selepas SMA saya melamar menjadi anggota POLRI. Ada pertanyaan,”menurutmu, Pancasila boleh diganti ngga?’ Dengan polos saya jawab,” Ya kalau ada yang lebih baik, kenapa tidak?”. Wajah pewawancara seperti terkejut, namun dia cukup lihai untuk segera menutupi keterkejutannya.”Bapakmu, kerja apa?”  saya jawab,”Pensiunan guru”. Dia meneruskan, “Pancasila itu tidak boleh diganti ya dik”. Seminggu kemudian, saya dinyatakan tidak lulus. Setelah itu, saya memutuskan jika ada pertanyaan itu lagi, saya akan jawab dengan mantap,”tidak bisa Pak”.

Lalu apa hubungannya dengan film "Istirahatlah kata-kata?". Tidak ada, saya hanya bercerita saja.

Waktu seperti tertatih-tatih menuju jam pulang kerja. Setelah tiba, saya langsung terbirit-birit pulang. Pesan ojek online disambung dengan bis menuju rumah. Sesampainya di rumah, dibantu istri untuk melihat jadwal tayang film ini di bisokop dekat rumah. Ada! Jam delapan malam. Istri saya yang baru saja sampai di rumah, berbesar hati mau menemani saya untuk pergi ke bioskop. “Oh itu tentang aktivis yang mati dibunuh itu ya”, aku tidak mengiyakan pun tidak menyanggah. Nanti juga dijawab oleh film, pikir saya dalam hati. “Dek, ayo ikut nonton, bagus loh itu” teriak istri saya ke adik kami, mahasiswa yang sedang liburan di rumah dan asyik main gadget. “nggak ah”, jawabnya.

Kami berdua pergi ke bioskop pake motor, biar cepat sampai. Parkir dan pasang gembok. “ini bukan Bandung, gembok aja” ucapan otomatis yang akan terucap dari istri saya setiap parkir motor, kemudian akan disusul dengan, “Bapak soalnya sudah dua kali dst..dst”. Aku tak pernya menyanggah, istri memang harus bawel. Antrian tiketnya kosong melompong, tapi tunggu! Saat si Mas-mas penjual tiketnya menawarkan kami untuk memilih kursi, ternyata hanya ada sisa empat kursi yang kosong?!.luar biasa antusiame terhadap film ini.  Ya, kami beruntung, Pesan popcorn dan lemon tea.

Menuju pintu teater, nampak banyak sekali anak muda. Gaya-gaya mahasiswa, saya menerka. Ada perasaan terharu, melihat teman-teman yang masih muda itu mau menonton film ini. Pasti mereka, rajin baca buku. Ada bangga dalam perasaan saya, setidaknya mereka rajin baca di masa mudanya. Isstri saya merasakan hal yang sama, karena tetiba dia senyum-senyum tidak jelas memandang. “Iya, aku dah tua”. Dan filmnya dimulai..eh, sebelum mulai, photo tiket, upload ke facebook, tag ke temen2 dekat yang kupikir sama-sama tertarik dengan film ini. Pamer.

Gambarnya bagus, enak untuk dilihat.

Sabar menunggu, adegan demonstrasi besar-besaran yang digerakkan aktivis buruh atau adegan Wiji Tukul yang membakar semangat para buruh dengan puisi “Peringatan”,  atau saat dia dianiaya tentara atau adegan penangkapan aktivis-aktivis, atau diskusi-diskusi resah mahasiswa tentang rezim orba..atau..atau..menunggu terus menunggu.

”Hanya satu kata, Lawan!!” itu tidak kunjung tiba. Film selesai, Popcorn habis,Lemon tea sisa banyak.

Istri saya bilang, “Udahan?” saya tersenyum. Sayup terdengar salah seorang penonton pria bicara ke temannya, “ kamu mending baca bukunya”.

Keesokan harinya di group Whats App. “aku sih No wkwkwkwk jelek. Propertinya aja yang bagus”, “Aku baca berita2 tentang film itu, rata2 bilang OK” teman yang lain menyahut. “Mereka yang bilang ok hanya dua kemungkinan. 1. Takut dibilang nggak ngerti film berat. 2.hanya bersolidaritas”.


Saya pun berkomentar :” kalo film ini bertujuan untuk memperkenalkan orang pemberani, maka film ini, pengecut”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar